Penulis Blog ini hanyalah sebagai seorang Muslim yang awam, belum banyak mempelajari sisi-sisi hukum Islam (fiqh) secara mandalam, namun demikian dari modal referensi yang saya peroleh dari berbagai sumber dan penalaran yang wajar, perkenankan saya paparkan pembahasan secara syari'ah atas Bisnis Online maupun Investasi Online yang saya sajikan dalam blog ini. Siapapun wajib untuk ijtihad secara maksimal sesuai kemampuannya sehingga mendapat keyakinan status hukum syari' nya atas tindakan yang dipilih dan dilakukan. Dalam Al-Qur'an Surah Al-Zumar, ayat 18 dikatakan : " yaitu orang-orang yang mendengarkan perkataan, lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Alloh petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal".
Banyak pertanyaan apakah bisnis online maupun investasi online ini halal atau haram hukumnya? Tentu tidak semua situs BO/IO halal kalau tidak memenuhi rukun-rukun (kriteria) sebagai yang dapat di halalkan. BO yang model money game misalnya yang paling banyak dipergunjingkan keharamannya dan memang jelas tidak halal karena tidak jelas obyek yang diperjual belikan, sebagai salah satu syarat (rukun) sahnya jual beli yang syari'ah. Namun demikian bagi yang terlalu hati-hati (atau yang cenderung lebih konservatif) menganggap semua bisnis online adalah haram karena pada umumnya :
> Barang yang diperdagangkan (jual belikan) tidak riil atau kalaupun riil penyerahannya tidak dapat dilakukan secara langsung tunai,
> Barang yang diperdagangkan melalui internet kadang hanya kamuflase (atau hanya sebagai kedok) sedang tujuan yang sebenarnya adalah money game dengan mengembangkan referal secara MLM atau piramida.
> Manfaat dari barang yang diperjual belikan belum tentu setara dengan harganya karena tidak dapat diketahui secara pasti sebelum dilakukan pembayaran,
> Dalam bidang investasi online pada beberapa HYIP adalah praktek membungakan uang dengan tarif yang lebih tinggi dari suku bunga umum, padahal bunga bank saja sudah di fatwakan oleh MUI termasuk sebagai riba, haram hukumnya.
Alasan-alasan tersebut pada umumnya memang benar, akan tetapi tentunya tidak bisa semuanya harus di generalisasi secara demikian, karena ada beberapa bisnis online yang dapat dipercaya dan kredibel dan dapat memenuhi rukun-rukun transaksi perdagangan yang syari'ah. Oleh karena itu tuduhan-tuduhan semacam tersebut diatas tidaklah semua berlaku.
Kadang saya berpikir, bahwa bukannya dengan kemajuan teknologi informasi dewasa ini dengan berkembangnya fasilitas kemudahan-kemudahan sistim informasi dan komunikasi secara digital melalui internet adalah merupakan Karunia Alloh yang besar kepada seluruh ummat manusia di dunia, karena firman Alloh sendiri ( dalam Al-Qur'an Surat Albaqarah ayat 185) : "Alloh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu". (meskipun ayat tersebut dalam konteks pemberian keringanan dalam kaitannya menjalankan ibadah puasa bagi yang sakit atau musafir, akan tetapi kehendak untuk kemudahan bagi hambanya tersebut tentunya sebagai dasar umum dari sifat Alloh yang Arrohman Arrohim).
Saya khawatir kecenderungan pada pengertian-pengertian yang demikian mudah mengharamkan bisnis online ini justerunya di hembus-hembuskan oleh golongan yang anti Islam agar ummat Islam tidak mendapat kesempatan berbisnis melalui internet sehingga ummat Islam tetap miskin dan hanya mereka saja yang meraup keuntungan besar melalui perkembangan teknologi informasi yang pesat ini. Sayang dong kalau kesempatan adanya kemudahan ini tidak ikut di manfaatkan secara maksimal oleh kalangan muslim hanya karena takut terjebak pada penafsiran pengharaman yang belum tentu pada tempatnya. Sedangkan Alloh SWT sendiri menghendaki kemudahan itu untuk siapa, bukankah untuk semua hambanya didunia, baik yang muslim maupun non muslim, jadi salah sendiri kalau tidak ikut ambil bagian dari karunia Alloh yang disebarkan dimuka bumi ini. Ummat Islam harus selektif dan jeli dalam memanfaatkan teknologi informasi ini, karena masih banyak celah-celah yang dapat dimanfaatkan dengan halal diantara dari permainan mereka yang memanfaatkan fasilitas ini tanpa memandang haram halalnya lagi, yang penting untung terus.
Oleh karena itu saya ingin mencoba menyajikan paparan yang lebih moderat dengan tetap memperhatikan garis-garis batas yang ditetapkan dalam Syar'iah Muamalah, dimana paparan ini kami bagi dalam dua bagian, bagian pertama adalah "Bisnis Online" dan bagian kedua adalah "Investasi Online" atau juga sebagai HYIP (high yield investment program), karena di sektor ini yang banyak kerancuan haramnya. Kalau pada menu "Survey On-line" kan sudah jelas, kita daftar untuk ikut mengisi survey, survey yang diterima dibayar. Kita bekerja dan dibayar, jadi sudah jelas hukumnya tidak perlu di perdebatkan lagi.
BISNIS ON-LINE:
Bisnis on-line pada dasarnya merupakan transaksi jual beli melalui dunia maya (on-line), atau mixed antara on-line dan off-line. Keistimewaan dalam jual beli dalam dunia maya, cara penyerahannya bisa secara nyata dalam bentuk fisik barang yang di perjual belikan yang diserah-terimakan secara off-line (misal dengan kiriman paket atau pembeli mengambil sendiri), tetapi dapat juga penyerahan barang yang diperjual belikan bukan dalam bentuk secara fisik, akan tetapi dalam bentuk soft-copy yang dapat di akses dengan memberikan hak / otorisasi untuk dapat meng-akses dengan melakukan download atas soft copy tersebut melalui internet, misalnya jual beli e_book.
Berdasar artikel : FIQH MUAMALAH DALAM ISLAM" yang dimuat pada web http://rumahbuku.weebly.com/4/post/2013/01/fiqh-muamalah-dalam-islam.html :
Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli,
penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.
3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab)
bersama dengan kesepakatan menerima (kabul).
Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya
menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang
melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik
atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas
nilainya.
Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan
jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek
transaksi dapat dibedakan kedalam: 1. obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek
yang sudah jelas keberadaannya atau segera dapat diperoleh manfaatnya. 2. obyek
yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu
transaksi yang tidak tunai.
(Sumber : http://rumahbuku.weebly.com)
Lebih lanjut, pada prinsipnya, perdaganagan secara Islam telah digariskan sesuai firman Alloh (Al-Qur'an, Surat An-Nisa, ayat 29) : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan suka sama suka diantara kamu, dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Alloh adalah Maha Penyayang kepadamu".
Jadi rukun-rukun sebagaimana disebutkan diatas adalah sebagai persyaratan materiil-nya atau dhohir-nya, namun masih harus dilengkapi dengan persyaratan moral (batin-nya), yaitu suka sama suka, yang tentunya dalam arti sama-sama sepakat, sama-sama ridho. Apabila suau transaksi jual beli antara penjual dan pembeli telah sepakat harganya, sepakat barangnya dan telah diketahui kualitas dan kuantitasnya oleh pembeli secara jelas, dapat dilakukan serah terima sesuai akadnya, maka sah lah jual beli tersebut secara halal.
Sekarang bagaimana misalnya dengan jual beli e_book melalui transaksi on-line ? Dalam transaksi jualan e_book ini uniknya adalah:
> Buku dimaksud tidak perlu di kirim dengan paket secara fisik, akan tetapi cukup di download dengan fasilitas program download yang telah mendapat otorisasi dari penjual dengan password.
> kalau ingin dicetak, pembeli yang telah menerima soft copy-nya melalui download tadi dapat mencetak sendiri sampai berapa kali pun. Namun demikian dengan perlindungan Undang-Undang Hak Cipta, tentu saja pembeli tidak diperkenankan menjual kembali hasil cetakan tersebut kepada orang lain.
> Namun demikian dalam praktek, pembeli diperkenankan mencari pembeli lainnya sebagai referral secara MLM setelah mendapatkan URL referal yang diberikan oleh penjual, sehingga pembeli dapat menjual dan memasarkan buku yang telah dibayar tersebut secara on-line melaui internet dengan mendapatkan komisi referal. Kalau pembeli mendapatkan downline yang banyak sebagai referaal berikutnya, bisa-bisa pembeli buku malah beruntung banyak, penghasilan komisi akan melampaui harga bukunya itu sendiri.
> Dengan adanya sistim penjualan berantai dengan metoda MLM secara on-line tersebut, maka niat pembeli dapat bergeser bukan berminat dengan bukunya lagi, akan tetapi niatnya berubah untuk menanamankan modal (jumlah uang pendaftaran sebagai member) agar uangnya dapat berkembang dengan cara hanya untuk mendapatkan komisi penjualan buku tersebut secara on-line saja. Bukunya sendiri sudah tidak dipedulikan untuk mau dibaca atau tidak. Kalau niatnya sudah melenceng begini yah, itu sama saja money game.
Bahkan pada web web BO tertentu seperti misalnya PermataProfit yang saya sajikan dalam blog saya ini malah sudah terang-terangan mengutamakan investasi untuk mengembangkan komisi referal secara berantai ketimbang menawarkan produk e_book nya. Buktinya yang ditonjolkan dalam laman depannya adalah berkembangnya nilai uang yang di bayarkan sebagai anggota, sedangkan produk e_book nya sendiri hanya disebut sebagai "bonus". Sudah begitu, Admin-nya masih membela diri dengan mangatakan, apakah Bisnis ini money game, jelas bukan, karena kami memberikan produk-produk berupa e_book yang sangat banyak dan bermanfaat, yang bernilai jutaan rupiah (jauh lebih besar dari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk menjadi anggota). kalau commitment dalam bisnis ini bukan money game ya harus tegas saja dong, di balik, bahwa kami menjual e_book yang nilainya jutaan rupiah, namun anda cukup membayar lima puluh ribu saja, begitu, baru tawarkan komisinya bila bisa menjual kembali kepada orang lain secara berantai melalui fasilitas URL referal yang diberikan. Ini baru benar bukan money game, tapi jual beli e_book.
Dalam kaitannya seperti ini, maka Dr. Muhammad Arifin Badri, dalam tulisannya pada majalah "Pengusaha Muslim" Edisi 31, mewanti-wanti bahwa bisnis on-line e_book yang dijual secara affilliasi, cenderung tidak dapat memenuhui sah nya secara syariah, mengingat :
• Kegunaan e-book yang diperjualbelikan terbukti tidak sebesar nilai jualnya.
• Adanya praktek spekulasi tingkat tinggi, sehingga anggota membayarkan uang dalam jumlah tertentu sejatinya bukan untuk mendapatkan barang, namun untuk mendapatkan hasil uang yang lebih.
• Bila Anda menjadi anggota atau downline terakhir dapat dipastikan Anda menjadi korban yang paling dirugikan.
• Korban menjerumuskan korban berikutnya, sehingga praktek yang menyelisihi prinsip syariah.
Komentar saya, korban terakhir yang dirugikan berarti sebagai member paling bawah yang di dzolimi member diatasnya (upline) yang tentunya hal tersebut tidak sejalan dengan Surat An-Nisa ayat 29 tersebut : ".........janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil".
(artikel tersebut selengkapnya dapat di download dari http://www.pengusahamuslim.com).
Loh, bagaimana kalau Admin blog ini sendiri menyampaikan wawasan tersebut yang kesimpulannya apa yang disajikan dalam blog ini ternyata tidak halal. Lah ya tidak mungkin dong, saya harus menyebar luaskan barang haram, itu artinya akan menumpuk dosa secara MLM pula. Hal-hal yang yang disampaikan Dr. Muhammad Arifin tersebut kan "cenderung". Cenderung itu pada umumnya akan menuju kesana, akan tetapi belum tentu sampai kesana. Bagaimana kalau kita berangkat dari awal permasalahan muamalah berdasar rumusan Qaidah Fiqh ? Salah satu qaidah fiqh mengatakan bahwa sesungguhnya semua amal perbuatan itu tergantung dari yang diniatkannya. (Berdasar hadits, Sabda Rasululloh SAW, Innamal a'malu biniyah...... dst.).
Misalnya, pada BO Permata Profit, biarlah Admin menawarkan berkembangnya uang yang anda bayar sebagai member web tersebut, sedangkan e_book nya hanyalah sebagai bonus. Masa ada bonus harganya lebih besar dari harga member yang dibayarkan. Maka niatkan bahwa anda membayar bukan untuk mengembangkan uang pada program BO tersebut untuk mendapatkan komisi, akan tetapi niatkan bahwa anda akan membeli produknya yaitu e_book yang ditawarkan sebagai bonus, karena melihat judul-judul buku tersebut memang anda tertarik dan ingin membacanya. Kemudian, dengan membeli buku-buku tersebut niatkan pula untuk melakukan penjualan kembali sesuai perjanjian yang telah di tetapkan dalam web BO tersebut. Kita setuju dengan term and condition yang ditetapkan karena term and condition tersebut setelah kita pelajari memang sama-sama menguntungkan sehingga memenuhi syarat saling ridho, tidak saling mendzalimi. Komisi yang anda dapatkan tentunya sah karena sudah dilakukan berdasar kesepakatan bersama. Nah, adapun wacana bahwa pembeli terakhir atau member terakhir dipastikan menjadi korban yang dirugikan kita kembalikan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:
> Dalam bisnis MLM tidak ada anggota terakahir kecuali dia sendiri tidak berusaha untuk mengembangkannya, karena prinsip bisnis ini adalah berdasar asas "going concern", yaitu bahwa bisnis ini diniatkan untuk berlangsung terus tiada akhir. Loh masa tiada akhir, bukankah alam semesta ini kelak akan kiamat sebagai akhir digulungnya bumi dan langit oleh Alloh SWT ? Dalam hal ini maka apabila member terakhir itu disebabkan karena tidak mau berusaha mengembangkan lebih lanjut, ya harus diniatkan hanya membeli buku saja. Buku sudah dibayar, dan sudah diterima. Kalau buku tersebut benar dibaca dan memberi manfaat mendapat ilmu yang berguna, ya sudah impas kan, tidak ada lagi hutang pihutang. Kalau member terakhir tersebut berminat mengembangkan usaha referral nya, belum mendapat down line tiba-tiba dunia kiamat, itu kan masalah bisnis lanjutan yang tidak terlaksana karena force majeure. Dalam bisnis di Permata Profit ini kan sejatinya terdiri dua akad, yang pertama akad jual beli e_book (kalau memang kita niatkan beli bukunya), dan yang kedua akad Jasa Promosi dimana komisi promisi baru diperoleh kalau berhasil menjual kembali, tetapi belum berhasil menjual terjadi kiamat, ya itu risiko force majeur member terakhir yang tidak sempat mengembangkan jaringan, tetapi kan tidak terjadi hutang pihutang yang belum terbayar. Bahkan dalam jual beli riil saja diperbolehkan menunda pembayaran atas barang yang dibeli apabila sama-sama disepakati dalam perjanjian antara penjual dan pembeli. Atau istilahnya penjualan dengan tanggang waktu pembayaran. Hal ini sudah menjadi common business practice, yang biasanya berlaku tenggang waktu pembayaran adalah 30 hari setelah diterima barangnya. Lah, bagaimana kalau waktu pembayaran belum jatuh tempo terus dunia kiamat. Hal demikian tentu harus sudah diatur dalam perjanjian adanya klausula force majeur yang membebaskan kewajiban masing-masing pihak apabila terjadi force majeur.
> Namun demikian sebagai konsekuensi meluruskan niat tersebut diatas agar tetap dalam jalan yang syariah, maka kita harus memantapkan hati bahwa :
a). Benar-benar yang kita butuhkan e_book nya, bukan pengembangan referralnya. Oleh karena itu harus di yakinkan terlebih dahulu bahwa e_book tersebut benar-benar sesuai yang kita mau dan yakin akan memberi manfaat. Hal ini untuk memenuhi rukun jual beli kejelasan obyek yang di perjual belikan, meskipun penjelasan tersebut melalui leterangan tertulis atau lisan dari penjual atau Admin-nya, kalau dapat kita percaya sudah cukup memenuhi rukun tersebut (karena kita tidak bisa download sebelum membayar, sehingga belum tahu isinya, maka cukup dengan penjelasannya saja).
b). Meskipun system memperkenankan mendaftarkan lebih dari satu user-name, namun kita tidak boleh mendaftar lagi untuk mendapatkan e_book yang sama. kalau pendaftaran kedua dilakukan, berarti itu memang benar di niatkan untuk pengembangan uang dengan cara money game, sehingga pendaftaran yang kedua menjadi haram hukumnya, bahkan mungkin dua-duanya menjadi haram karena niatnya tidak konsisten. Niat itu harus commit dan konsisten, tidak boleh berubah sampai kiamat sekalipun, bukan untuk mengakali yang haram menjadi halal. ALloh tidak bisa diperdaya dengan tipu daya manusia, Alloh mengetahui apa saja yang manusia kerjakan baik dhohir maupun batin (yang tersembunyi).
Kasus lain semacam ini bisa juga terjadi pada BO DBS (www.duta4future.com), yang bisnis utamanya sebagai member adalah memberikan hak uasaha keagenan (distributor) jual beli pulsa all operators. Dalam MLM bisnis pulsa secara binary piramida ini, member diperkenankan membeli 3 atau sampai 7 hak usaha, artinya kalau membeli 3 hak Usaha dapat mendaftar 3 HP sebagai distributor pulsa elektronik, bonus Asuransi Kecelakaan satu tahun, kalau membeli 7 hak usaha dapat mendaftar 7 HP sebagai agen pulsa dengan bonus Asuransi Kecelakaan selama 5 tahun. Masalahnya kalau kita mendaftar lebih dari satu hak usaha tetapi HP yang dipakai sebagai keagenan pulsa tersebut hanya satu, selebihnya bodong hanya untuk menambah ranking jaringannya, atau yang tidak setara dengan bonus jaminan asuransi yang diberikan, maka meskipun Web BO ini bahkan sudah mendapat sertifikat halal dari MUI Propinsi Jawa barat, menurut pendapat saya, pendafataran Hak Usaha berikutnya yang bodong tersebut adalah haram hukumnya.
c). Sebagai konsekuensi lainnya atas konsistensi niat tersebut, maka dalam melakukan promosi untuk mengembangkan jaringan penjualan kembali untuk memperoleh komisi secara berantai sampai tingkat generasi yang ditetapkan, kiranya sebagai akad jasa promosi, sudah sah-sah saja, akan tetapi konsisten dengan niatnya sendiri adalah membeli e_book (bukan money game), maka dalam promosinya perlu ditegaskan menjual bukunya, bukan menanamkan uang untuk mengembangkan komisi referral.
Kebetulan uraian tersebut menyangkut BO yang memberikan bonus produk berupa e_book. Bagaimana dengan model-model produk lainnya. Secara ringkas buat saja check-list rukun-rukun sebagai sahnya transaksi secara syariah seperti berikut ini, apakah substansi dan materi setiap rukun dimaksud terpenuhi atau tidak.
Centang checklist berikut ini, YES atau NO. Salah satu checklist tersebut anda jawab "NO", artinya salah satu rukunnya tidak terpenuhi, lebih baik tinggalkan saja dari pada terjerumus pada transaksi yang diharamkan.
1). Obyek produknya halal
2). Terjadi kesepakatan transaksinya (persyaratan dapat diterima kedua belah pihak) dengan ridho, tidak ada pemaksaan dari salah satu pihak, sehingga tidak ada unsur saling mendzalimi, jujur, adil, amanah (sebagai rukun ijab qobul).
3). Kejelasan status penjual (sebagai pemilik, distributor atau agen, dsb.)
4). Produk atau barang yang diperjual belikan harus memberikan manfaat.
5). Produk atau barang yang diperjual belikan harus dapat diserah terimakan (penyerahan dalam hal yang berbentuk soft copy dapat di download).
6). Tidak ada unsur gambling atau judi
7). Tidak ada unsur risywah (penyuapan)
Nah, sampai disini kiranya ulasan saya mengenai pembahasan syariah bisnis online tersebut, selebihnya Walloh hu Alam bisawab.
INVESTASI ON-LINE.
Investasi on-line dalam HYIP pada umumnya adalah dalam bentuk
investasi yang akan mendapat keuntungan berupa “bunga” yang tinggi (pada
umumnya lebih tinggi dari pada suku bunga umum bank yang berlaku). Tetapi para
pengelola web HYIP lebih banyak yang menyebutnya sebagai profit atau bagi hasil
bukan bunga. Ya sebenarnya apapun namanya kalau bagi hasil tersebut berdasar
suatu fixed rate (tariff yang sudah tetap) ya sama saja dengan “bunga”, yang kebanyakan pendapat para ulama, bunga adalah
sama dengan “riba” sehingga secara syariah, haram hukumnya, sebagaimana
dinyatakan dalam AL-Qur’an,
Surah Al-baqarah :
Ayat 276, yang artinya : “Alloh memusnahkan riba dan
menyuburkan sedekah. Dan Alloh tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”
Ayat 278, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Alloh dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman”
Ayat 279, yang artinya : “Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alloh dan Rasulnya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) di aniaya”.
Ali Imran, ayat 130, yang artinya : “Hai orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat
ganda dan bertawakalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan"
Hadits riwayar HR Muslim : “Jabir berkata bahwa Rasulullah saw. Mengutuk orang yang menerima riba,
orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang saksinya,
kemudian beliau bersabda "mereka itu semua sama".
Sekarang masalahnya apakah “bunga” iru benar-benar 100%
identik dengan “riba” sebagaimana dimaksud dalam ayat-ayat dan hadits tersebut
? Ada kalangan yang berpendapat berdasar pengertian bahwa riba adalah suatu tambahan,
maka bunga sebagai bentuk tambahan pokok pinjaman adalah sama saja dengan riba.
Sementara itu ada kalangan lain yang berpendapat bahwa bunga tidaklah sama
dengan riba sehingga tidak sepenuhnya haram. Kenapa bunga tidak sama dengan
riba ?
Berdasar sejarah, di Arab pada Zaman Rasululloh, sudah terjadi
adanya praktek membungakan uang, yang kasusnya lebih banyak menyangkut hubungan
individual, dimana ada orang yang meminjamkan uang yang oleh karena yang
meminjam tidak dapat mengembalikan pinjamannya pada waktu yang dijanjikan, maka
si peminjam boleh menunda pembayaran akan tetapi harus menambah sejumlah
tambahan yang ditetapkan si pemberi pinjaman. Tambahan yang diwajibkan inilah
yang disebut sebagai riba (yang selanjutnya di sebut sebagai “Riba Jahiliyah”).
Namun ada pula yang mensyaratkan adanya tambahan tertentu yang sudah
diperjanjikan pada saat awal pemberian pinjaman (yang selanjutnya disebut
sebagai “Riba Qardh”).
Nilai penambahan tersebut tidak saja hanya terjadi pada kasus
meminjamkan uang, akan tetapi juga bisa terjadi pada barang atau ternak. Pada
barang. Misalnya barter barang dengan barang lain yang berbeda nilainya. Akan
tetapi dalam hal ini yang termasuk riba adalah penukaran barang sejenis yang
tidak sama jumlah dan kualitasnya, misal emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, apabila jumlah dan kualitasnya tidak sama berarti
perbedaannya adalah riba (yang selanjutnya di sebut sebagai “Riba Fadl”). Pada
obyek ternak, misalnya meminjamkan kambing umur 2 tahun, tetapi kambing yang
dipinjamkan belum sampai umur 3 tahun harus mengembalikan dengan kambing yang
berumur 3 tahun. Selisihnya adalah riba.
Hanya penukaran barang yang tidak sejenis, boleh dengan jumlah
dan/atau kualitas yang berbeda, sebagaimana hadits :
Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:”
Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, terigu dengan
terigu, korma dengan korma, garam dengan garam harus sama beratnya dan tunai.
Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai (HR Muslim).
Jadi secara garis besarnya riba bisa terjadi pada transaksi
hutang-piutang maupun Jual Beli.
Dalam perkembangan di era makro ekonomi secara global dewasa
ini maka istilah Bunga atau interest yang disponsori oleh lembaga perbankan
dewasa ini apakah sama persis (identik) dengan pengertian riba yang terjadi
pada saat-saat turunnya ayat-ayat larangan mengenai riba tersebut? Dalam satuan
nilai tambahannya, apakah itu dianggap besar atau kecil (materiil atau tidak
materiil), pastilah bunga bank sama saja dengan riba sebagaimana dibahas
dimuka. Akan tetapi substansi latar belakang timbulnya bunga bank atau interest
tersebut tidaklah sama dengan riba pada zaman dahulu.
Riba zaman dahulu masih bersifat individual, ditetapkan oleh
pemberi pinjaman/penjual secara sepihak yang cenderung tidak memperhitungkan
asas keadilan, atau sewenang-wenang yang dalam skala ekonomi hanya berkembang
di bidang ekonomi mikro, sedangkan bunga bank berkembang atas dasar fluktuasi
pasar atau kondisi ekonomi regional maupun global, meskipun ditetapkan secara
sepihak oleh pihak bank, namun telah diperhitungkan berdasar asas keadilan
ekonomi karena mengikuti pola pasar secara umum. Selain untuk kredit konsumtif
yang bersifat individual, basis perhitungan bunga lebih didasarkan pada
perhitungan pinjaman (kredit) produktif untuk korporasi yang tujuannya untuk
membantu perusahaan dalam mengembangkan usahanya. Bank, dalam memberikan kredit
kepada perusahaan tidak asal mau untungnya sendiri saja. Banyak tahapan
prosedur yang harus dipenuhi perusahaan yang mengajukan kredit investasi agar
Bank yakin, kredit yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan penuh dan dapat
bermanfaat secara produktif. Salah satu prosedur tersebut diantaranya,
perusahaan harus mengajukan proposal feasibility study atas proyek yang akan
dibiayai dengan fasilitas kredit bank tersebut. Pihak bank akan menilai,
apabila proposal tersebut tidak feasible bisa tidak disetujui permohonan kredit
tersebut, karena khawatir akan menjadi kredit macet, Bank juga rugi, perusahaan
juga bisa bankrut. Jadi pemberian pinjaman Bank kepada nasabahnya (terutama
kepada corporate) tidak asal untung tanpa perhitungan, sehingga sejatinya unsur
bunga dalam pemberian kredit ini sebenarnya dapat dianggap sebagai bagian dari bagi
hasil keuntungan yang diperhitungkan dimuka berdasar proyeksi keuntungan yang
diajukan dalam feasibility study pada proposal yang diajukan kepada Bank.
Memang secara syari’ belum bisa dikatakan sebagai sistim bagi hasil yang sudah
jelas halal-nya, karena bagi hasil secara syari’ hanya diperhitungkan kalau
usaha perusahaan dari proyek yang diajukan tersebut benar-benar untung, akan
tetapi setidaknya dengan adanya persetujuan bank untuk mengucurkan kredit yang
berdasar pertimbangan bahwa dari feasibility study tersebut dianggap layak akan
mendapatkan keuntungan, maka bunga bank yang dibebankan yang relative jauh
lebih kecil dari pada keuntungan yang diproyeksikan, adalah sama saja pada
hakekatnya sebagai pembagian keuntungan yang diperhitungkan dimuka dan bersifat
final. Hal demikian dapat dianggap pula sebagai simplifikasi perhitungan bagi
hasil. Justeru dengan penetapan bunga tersebut secara fixed yang dapat pula
dianggap sebagai bagi hasil keuntungan untuk bank, perusahaan menjadi punya
“greged” atau tekad untuk menjaga usaha dari proyek yang dibiayai dengan kredit
bank tersebut harus berhasil, sehingga pada waktu kredit lunas, ia sudah dapat
berkembang sendiri dengan lebih baik lagi. Kalau bank membebaskan bunganya bila
proyek tersebut merugi ya enak banget dong, greged atau tekadnya dalam
memberhasilkan proyek tersebut secara psykologis bisa kendor atau santai-santai
saja. Meskipun demikian, bila proyek tersebut benar-benar rugi, maka masih
dapat dibahas bersama bank untuk negosiasi merubah persyaratan guna meringankan
debitur, misal membuat rescheduling angsuran, memberikan tambahan grace period,
atau bahkan menambah kredit untuk stimulus agar proyek dapat berjalan kembali
sebagaimana mestinya. Jadi bank juga tidak akan sewenang-wenang menekan
nasabahnya.
Dalam kaitanya dengan kredit konsumtif secara individual tetap
diperhitungkan juga tingkat bunga sesuai kondisi pasar secara umum, karena
orang berani ambil kredit bank sudah bisa mengukur kemampuan dirinya untuk
mengangsur sesuai hasil usahanya, baik usahanya sebagai karyawan ataupun
pengusaha.
Jadi inti dari uraian diatas menunjukkan adanya perbedaan yang
mendasar antara riba zaman dahulu dan bunga bank dewasa ini sebagai berikut :
a)
Riba zaman dahulu ditetapkan secara tidak adil sehingga
terjadilah kedholiman yang dilarang agama, sedangkan bunga bank diperhitungkan
secara transparan sesuai kondisi ekonomi yang sedang berjalan dan
diperhitunngkan secara adil dalam arti debitur mampu membayar tambahan dalam
bentuk bunga tersebut tanpa mengganggu kebutuhan hidupnya sehari-hari.
b)
Riba zaman dahulu ditetapkan secara sepihak tanpa kesepakatan
dengan saling ridho, sedangkan transaksi pinjam meminjam dengan bank berdasar
kesepakatan tertulis dengan tidak ada salah satu penekanan dari salah satu
pihak. Jadi rukun saling ridho terpenuhi.
c) Disamping itu, Bank dan kepentingan nasabah bank pada sistim
pemerintahan di Negara manapun dilindungi oleh Negara.
Oleh karena itulah dewasa
ini masih ada perbedaan pendapat apakah bunga bank sama saja sebagai riba yang
diharamkan atau tidak. Dalam hal ini, maka meskipun MUI sebagai organisasi
resmi yang diakui Pemerintah mewakili hampir semua ormas Islam Indonesia telah
mengeluarkan fatwa bahwa pada dasarnya bunga bank adalah haram, namun salah satu
ormas Islam terbesar, Muhammadiyah, belum sejalan dengan fatwa tersebut.
Muhammadiyah masih berpegang pada Keputusan Muktamar Majelis Tarjih
1968 di Sidoarjo Jawa Timur, - dan sampai saat ini belum ada perubahan,-
diputuskan: Bunga yang diberikan oleh bank-bank milik negara kepada para
nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku, termasuk perkara musytabihat.
Kata musytabihatdalam pengertian bahasa ialah perkara (sesuatu)
yang tidak jelas. Adapun menurut pengertian Syara’ ialah sebagaimana yang tersimpul
dalam Hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Nu'man Ibn Basyir yang
kesimpulannya sebagai berikut: Bahwasanya yang halal sudah jelas, demikian pula
yang haram, yaitu telah dijelaskan oleh al-Qur’an maupun al-Hadits dengan
nash-nash sharihnya. Misalnya, daging kambing
halal dimakan dan daging babi haram dimakan. Selain yang telah ditentukan
hukumnya dengan jelas itu, terdapat beberapa hal yang hukumnya tidak jelas bagi
seseorang atau beberapa orang, apakah itu halal atau haram, sehingga dari mereka
timbul ragu-ragu dan tidak dapat menentukan salah satu di antara dua macam
hukum itu. Perkara yang masih meragukan dan tidak jelas hukumnya inilah yang
disebut musytabihat.
Terhadap
hal yang masih musytabihat atau masih diragukan hukumnya, Nabi
Muhammad saw telah menganjurkan agar kita berlaku hati-hati dengan menghindari
atau menjauhinya demi untuk menjaga kemurnian jiwa dalam pengabdian kita kepada
Allah Swt. Hal ini dikecualikan manakala dalam rangka menjaga kemaslahatan
kehidupan baik dalam urusan keduniaan maupun urusan keakhiratan tidak ada jalan
lain atau nyaris tidak mungkin untuk dihindari, seperti di suatu daerah yang
tidak atau belum ada lembaga keuangan seperti bank yang beroperasi dengan
menggunakan sistem syariah. ( Sumber: www.muhammdiyah.or.id / www.fatwatarjih.com )
Jadi solusinya, bagaimanapun, seperti Muhammadiyah, untuk
memurnikan jiwa dalam pengabdian kita kepada Tuhan Allah SWT, diusahakan sebisa
mungkin lebih baik menggunakan Bank Syariah dari pada Bank Konvensional yang
diragukan dengan bunganya yang dianggap sebagai riba, kecuali demi kemaslahatan
yang nyaris tidak dapat di hindari, dengan Bank Konvensional (milik Negara)
tidak mengapa.
Dengan realita seperti yang kita hadapi dalam kehidupan dunia
yang masih di dominasi dengan sistim ekonomi liberal kapitalis dewasa ini,
pertumbuhan bank-bank Syariah belum dapat memberikan dampak yang signifikan
pada system ekonomi global ini untuk dapatnya sistim Syariah mampu menggantikan
sistim ekonomi liberal kapitalis yang mengandalkan dengan mekanisme pasar
terbuka, sehingga penulis pada laman ini mencoba memberikan asumsi-asumsi dasar
yang menjadikan hal yang masih musytabihat tersebut, pertama, melalui pendekatan
dengan dasar-dasar qaidah (asas) fiqh dan kedua, melihat fakta kondisi
perekonomian global dimana bunga bank tidak bisa dipisahkan dengan kondisi
ekonomi moneter dewasa ini.
1)
Hukum asal.
Kaidah pertama yang paling mendasar dari kaidah fiqh mengatakan
bahwa sumber hukum dari segala urusan duniawi / muamalah adalah diperbolehkan (
hukum asalnya mubah), kecuali hal-hal yang secara tegas diharamkan oleh kitab
suci AL-Qur’an dan Hadits, sedangkan semua hal yang menyangkut ritual
peribadatan yang tidak diatur oleh agama adalah dosa (hukum asalnya haram) kecuali
peribadatan yang diperintahkan Allah dalam Al-Quran dan semua ibadah yang
dicontohkan oleh Rasululloh SAW berdasar hadits-hadits yang boleh dan harus
dikerjakan. Jadi, Perbuatan ibadah selain yang ditetapkan agama, yang hanya
berdasar karangan manusia adalah dosa dan termasuk perbuatan musyrik atau
syrik.
Adapun dengan hal masalah bunga bank, investasi, jual beli,
sewa-mnyewa, komisi penjualan dan urusan-urusan bisnis lainnya adalah termasuk
urusan duniawi / muamalah yang pada
dasarnya hukum asalnya adalah mubah (diperbolehkan) kecuali ada bagian-bagian
yang secara tegas di haramkan, misal dagaing babi, darah dan bangkai yang
berdasar Surah Al-Baqarah ayat 173 secara tegas diharamkan. Dalam pembahasan
ini berkenaan dengan bunga investasi, bunga simpanan bank, apabila termasuk
riba sebagaimana dimaksud dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah disebutkan
dimuka, maka adalah haram hukumnya. Akan tetapi bunga invetasi, bunga bank, sementara
ini belum tentu dapat dianggap secara mutlak sebagai riba. Yang sudah jelas
riba adalah apabila bunga tersebut sesuai ayat yang dikutip dimuka, yaitu
dipungut oleh yang memberikan pinjaman, secara sewenang-wenang (ditetapkan
secara sepihak), sehingga mengandung kedholiman dan ketidak adilan.Kondisi ini
pada umumnya menempatkan si peminjam dalam posisi “tidak ada pilihan” sehingga
terpaksa menerima syarat tersebut dengan secara terpaksa (tidak ridho). Riba
yang model inilah yang sudah jelas, tidak ada abu-abu lagi, haram hukumnya. Sedangkan
bagaimana kalau bunga tersebut bukan diminta oleh yang memberikan uang, akan
tetapi sebaliknya ditetapkan besarnya oleh yang meminjam, dimana yang
meminjamkan uang dapat menyetujuinya, misal kita mau menabung di bank. Disitu
kita sudah membaca ketentuan dan syarat-syarat, diantaranya dengan menabung
uang di bank kita akan diberikan bunga 2% per tahun potong pajak 15%. Kondisi
tersebut sama-sama kita pahami dan kita setujui. Juga bagaimana kalau meskipun
bunga ditetapkan oleh yang memberikan pinjaman (yaitu dalam hal kredit bank),
dan yang menerima pinjaman menerima dengan ridho atas syarat tersebut ? maka
bagian inilah yang masih termasuk sebagai “musytabihat”, yang dengan kaidah ini
dapat dikembalikan ke hukum asal, selama belum mendapat kata bulat yang menegaskan
bahwa hal tersebut adalah haram.
2) Asas Keterpaksaan (Dhorurat), dalam
kaitanya dengan asas manfaat dan asas kemudahan.
Pada kondisi darurat hal yang haram saja pada batas-batas
tertentu menjadi dihalalkan, apalagi hal yang masih musytabihat. Asas ini diantaranya
mendasarkan pada firman Alloah pada Surah Al-Baqarah, ayat 173 : “Sesungguhnya Alloh hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Alloh. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Jadi kalau menilik ayat ini, kebolehannya dalam kondisi
darurat hanya sebatas yang diperlukan saja. Dalam hal kelaparan disuatu tempat
yang tidak ada lagi makanan selain makanan yang haram, boleh makan hanya
sekedar mengurangi rasa laparnya, tidak boleh lebih dari itu. Kalau sengaja
lebih dari sekedar cukup tentu sudah termasuk hal yang diharamkan.
Dalam kaitannya dengan bunga bank banyak kalangan yang sudah
sepakat bahwa bunga bank adalah haram, namun selama belum dapat menggunakan
bank syariah yang tidak mengandung bunga sebagai riba, masih boleh menggunakan
bank konvensional dengan alasan kodisi darurat. Masalahnya sampai sejauh mana
batas-batas minimal yang diperkenankan sebagai darurat, sedangkan kenyataannya
dewasa ini Bank Syariah sudah mulai berkembang pesat, hampir disemua area
strategis sudah berdiri cabang-cabang Bank Syariah. Jadi sudah bukan waktunya
lagi mengatakan menggunakan Bank Konvensional sebagai kondisi yang darurat.
Tentu saja berbeda dengan hal makanan yang diharamkan, ukuran keterbatasannya
sudah jelas, sebesar takaran yang layak untuk sekedar mengurangi lapar, mungkin
bisa hanya dua atau tiga iris daging babi, yang pokoknya dengan I’tikad
seminimal mungkin sudah cukup untuk mempertahankan hidup. Adapun penggunaan fasilitas
perbankan tentu tidak dapat diukur secara ekstreem sebagaimana hal nya orang
yang dikhawatirkan bakalan mati kalau tidak makan sama sekali. Tanpa bank
apapun kita masih bisa hidup. Uang gaji atau hasil usaha disimpan di rumah,
dibelanjakan dengan membayar secara cash kan tidak masalah, kita masih tetap
hidup. Tetapi bayangkan sekarang anda bergaji atau berpenghasilan yang sangat
besar, sehingga kelebihan dari kebutuhan sehari-hari selalu dapat di tabung,
terus bagaimana menabungnya, ditaruh dikolong tempat tidur, atau punya brankas
sendiri, kemudian nanti kalau mau beli mobil seharga rp. 500 juta bawa tas besar
untuk bawa duitnya. Wah, gimana kalau di jalan di rampok, uang habis, gak jadi
beli mobil. Dari segi ini saja, maka demi kemaslahatan yang besar, terutama
keamanan harta, Bank sudah di butuhkan. Sehingga kita bayar berapapun besarnya
tidak perlu bawa duit, cukup perintah transfer, selesai, tidak ada risiko di
rampok, tidak ada risiko harus menyimpan uang dirumah yang salah-salah bisa
dimakan rayap atau musnah kalau terjadi kebakaran. Masalahnya kalau bunga bank
haram, maka anda harus menyimpan duit tersebut di Bank yang halal, yaitu Bank
Syariah. Hanya saja dengan menyimpan uang dalam bentuk tabungan atau giro saja
di Bank konvensional kita akan diberikan bunga oleh Bank, jadi untuk
menghindari riba, tentunya anda harus membuat perjanjian agar uang yang anda
simpan di bank tidak usah diberi bunga. Kalau mau yang halal ya harus di Bank
Syariah, simpanan anda akan mendapat bagian dari bagi hasil keuntungan bank (bukan
bunga, tetapi bagi hasil) meski uang tersebut hanya sekedar nitip untuk
disimpan, bukan untuk tujuan investasi. Masalahnya saat ini Bank Syariah masih
termasuk golongan minoritas. Mau anda simpan di Bank Syariah, jauh tempatnya.
Bank yang lebih dekat rumah atau kantor adalah Bank-Bank konvensional, apakah
berdasar jarak jangkauan perjalanan ke Bank dapat dijadikan ukuran boleh
tidaknya darurat ? Lebih lanjut, tentunya masih banyak lagi parameter lainnya
seperti, produk dan layanan jasa bank mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan
anda. Misal anda seorang pengusaha ingin membangun pabrik mobil yang memerlukan
pembiayaan kredit yang sangat besar, melalui Bank Syariah tidak mencukupi
kapasitas kreditnya dan hanya di Bank Konvesional saja yang dapat memberikan
kredit sebesar itu, maka karena kesempatan usaha pabrik mobil ini sangat bagus,
terpaksa ambil dari Bank Konvensional. Dengan banyaknya parameter sebagai
ukuran keterbatasan yang tidak semuanya dapat diukur secara quantitative, tentu
hanya pada hati anda sendirilah yang tahu sampai sebatas mana anda harus
menggunakan Bank Konvensional dan bagian-bagian lain apa saja yang harus anda
usahakan menggunakan Bank Syariah. Saya sendiri, memilih, (karena bukan
pengusaha) untuk simpanan/tabungan, saya menggunakan BCA dan Mandiri karena
fitur ATM dan transaksi on-line sangat banyak, jangkauan luas, sehingga praktis
untuk melakukan transaksi keuangan apapun. Tetapi untuk investasi atau tabungan
jangka panjang ( deposito, DPLK ) saya tempatkan pada Bank Syariah. Jadi ukuran
daruratnya tidak bisa subjektif pada ukuran tertentu, akan tetapi ada di hati
kita sendiri dengan mempertimbangkan kaitannya dengan asas manfaat (kemaslahatan)
dan kemudahan. Meskipun jarak kantor Bank Syariah lebih jauh lokasinya tetapi
kan masih bisa di jangkau, tentu tidak layak dianggap kondisi yang terpaksa
memilih yang lebih dekat. Akan tetapi tentu pertimbangan keterpaksaan tersebut
bukan hanya masalah kemapuannya atau keterjangkauanya, tetapi juga dapat
dikaitkan dengan asas kemudahan dan manfaat, mana yang lebih memberikan
kemaslahatan dan kemudahan, karena Allah sendiri menghendaki hambanya mendapat
kemudahan, bukan kesulitan.
Jadi, pada dasarnya saya juga sependapat untuk bersikap wara
atau konservatif (hati-hati) sebagaimana fatwa majelis tarjih Muhammadiyah
tersebut, bahwa sebaiknya untuk menghindari yang subhad (meragukan) dari pada
kalau salah, malah terjerumus kedalam lumpur dosa, artinya lebih baik
menggunakan bank Syariah dari pada Bank Konvensional, kalau memang kebutuhan
kita di bidang transaksi financial dapat tercukupi dengan fasilitas Bank
Syariah. Namun demikian, apakah Bank Syariah telah mampu mencukupi kebutuhan
kita mendapatkan kemudahan-kemudahan transaksi financial atau perbankan secara
maksimal ? Misalnya fasilitas ATM nya, fitur-fitur on-line dan jangkauan
hubungan dengan nasabah yang luas. Mungkin dengan pertimbangan dari segi ini
saja orang lebih memilih fasilitas atm BCA dari pada Bank-Bank Syariah. Padahal
Allah lebih suka dengan kemudahan, maka kalau ada fasilitas yang lebih banyak
memberikan kita kemudahan kenapa masih menggunakan fasilitas yang kemudahannya
masih kurang lengkap.
3). Asas Keterpaksaan
(Dhorurat) dikaitkan dengan Fakta System Makro Ekonomi.
Suku Bunga Bank, dalam sistim perekonomian secara global telah
menjadi barometer dan sebagai instrument untuk mengatur tingkat pertumbuhan
perkeonomian Negara. Di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat suku bunga
yang ditetapkan the FED (Bank Central-nya Amerika) relative kecil. Yang pasti
selama ini selalu jauh lebih kecil dari pada suku bunga yang ditetapkan Bank
Indonesia, karena Amerika lebih makmur dari pada Indonesia. Untuk mengatur
gejolak ekonomi, Bank Central dapat mengendalikannya melalui berbagai
kebijaksanaan, diantaranya suku bunga bank. Misalnya untuk mengendalikan
inflasi yang cenderung meningkat, BI menaikkan tariff BI rate (suku bunga simpanan
dan kredit), maksudnya agar uang yang beredar dapat lebih banyak terserap oleh
Bank sehingga berdasar hukum ekonomi, Uang beredar turun, permintaan pembelian
barang turun, maka harga-harga akan turun. Sebaliknya, dalam kondisi inflasi
stabil atau cenderung turun, BI akan menurunkan BI rate sehingga akan
menggairahkan iklim investasi untuk meningkatkan produksi, agar pertumbuhan
ekonomi akan lebih berkembang. Disini secara tegas, Negara telah melegalkan
bunga bank yang bukan hanya sekedar untuk transaksi pinjaman dari atau simpanan
ke bank, akan tetapi bahkan bunga itu sendiri menjadi salah satu instrument
yang efektif bagi Negara dalam mengendalikan kebijaksanaan ekonomi keuangan
Negara agar ekonomi bagi rakyatnya terlindungi dari gejolak yang membahayakan
kesejahteraan hidupnya. Jadi disini jelas, bahwa bunga bank menjadi salah satu
factor kebijakan Negara yang sangat bermafaat untuk melindungi rakyat dari
kemrosotan kemakmurannya dan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Bunga
bank, tidak akan diperlukan lagi sebagai instrument untuk menetapkan kebijakan
ekonomi keuangan Negara, seandainya saja Bank Syariah nantinya yang menjadi
lebih dominan dari pada Bank Konvensional, dan idealnya semua bank diseluruh
dunia menganut sistim syariah. Kalau sudah begini keadaannya, bunga sudah tidak
akan efektif lagi sebagai alat kebijaksanaan ekonomi keuangan Negara. Dan
dengan demikian, maka tidak ada lagi kondisi darurat, sehingga bunga bank akan
menjadi jelas sepenuhnya “haram” secara mutlak. Selama bunga bank masih menjadi
bagian dari sistim tata kehidupan Negara dalam mengatur perekonomiannya,
kemanapun kita menginjakkan kaki di bumi Indonesia maupun manca Negara, ya akan
tetap menghadapi keterpaksaan dalam melakukan transaksi keuangan yang belum
dapat sepenuhnya syariah, sehingga unsur keterpaksaan ini masih akan tetap ada dalam
jangka panjang, sampai kapan berakhirnya kita tidak akan tahu lagi, karena
hanya akan bermuara pada kondisi dimana Negara dapat menerapkan sistim syariah
secara lebih dominan. Karena itu saya heran, ada seorang komentator pada suatu
web yang membahas bahwa bunga bank itu haram dan bekerja di bank (Bank
konvensional, non-syariah) termasuk haram, dia meyakininya pendapat tersebut, padahal
dia bekerja di Bank konvensional, maka kemudian dia memutuskan keluar dari bank
dan bekerja di tempat lain, padahal posisi dia terakhir sebelum mengundurkan
diri sudah menjadi kepala cabang, tentu suatu karir yang harus dilalui secara
susah payah (anggap namanya pak Adi). Pak Adi merelakan bekerja di tempat lain
dengan gaji yang lebih rendah, yang penting halal. Saluut, saya puji dia
memiliki jiwa yang sangat mulia. Kita doakan mudah-mudahan orang seperti ini
diampuni Alloh seluruh dosa-dosanya dan diridhoinya masuk surga. Akan tetapi
saya juga berdoa kepada Allloh apabila ijtihad saya ini salah, mohon dapat
diampuni dan tidak termasuk penghuni neraka. Sekarang marilah kita pikirkan lebih
lanjut seandainya semua pegawai bank yang beragama Islam berpendirian seperti
pak Adi, dan kemudian ramai-ramai karyawan muslim mengundurkan diri, padahal
karyawan muslim di bank tersebut lebih dari 50%, maka pastilah bank akan
merekrut lagi untuk mengganti pegawai muslim yang pada keluar dengan
orang-orang non muslim agar tidak keluar lagi, dan akibatnya bank sepenuhnya
dikuasai orang-orang non muslim yang tidak perduli lagi bunga bank halal atau
haram. Menurut pendapat saya seharusnya pak Adi tidak perlu keluar dari bank
tempat bekerja tersebut, percayalah bahwa dalam kondisi yang masih terdapat
unsur keterpaksaan, Insya Alloh, Tuhan mengerti dan dapat mengampuni. Seharusnya
pak Adi bahkan harus bekerja lebih baik untuk mencapai posisi yang lebih tinggi
dan membina teman dan anak buah untuk menanamkan pengertian bahwa bunga bank
sesungguhnya haram, dan kita harus mampu merubah bank ini menjadi bank Syariah,
setidaknya melahirkan dulu anak perusahaan Bank Syariah, selanjutnya lebih
dibesarkan anak perusahaan yang syariah tersebut. Yang mampu menentukan arah
kebijaksanaan perusahaan kan hanya pemilik dan pengurus dengan jabatan posisi
kunci, jadi raihlah jabatan posisi kunci itu, bukannya malah menyerah, mencari
jalan aman sendiri. Kalau semua orang muslim punya semangat seperti apa yang
saya sarankan tersebut, Insya Alloh Bank Syariah akan menjadi raja di negeri
ini, dan bunga bank tidak akan di pakai sebagai indicator ekonomi yang di
utak-atik Pemerintah untuk mengatur kebijakan Negara, dan unsur keterpaksaan
tidak bisa lagi dicari-cari untuk menghalalkan bunga bank, sehingga tidak ada
lagi yang musytabihat. Seandainya pak Adi membaca artikel ini mungkin masih
menyangkal, wah pak, biar saya sampai pensiun, tidak mungkin saya dan
teman-teman mampu merubah bank ini menjadi bank Syariah. Yah kalau masih
berpendapat pesimis demikian, tidak ada semangat perjuangan, akan semakin jauh
saja cita-cita kaum muslimin menikmati hidup dengan syariah yang di ridhoi
Alloh. Saya berani katakan, pak Adi, meskipun sampai bapak pensiun, tidak mampu
merubah bank tempat anda bekerja menjadi bank Syariah, akan tetapi Tuhan
melihat dan mendengar perjuangan anda ingin menegakkan syariah yang diridhoi
Alloh di bumi pertiwi yang kita cintai ini, pastilah ada penghargaan yang saya
tak tau bagaimana Alloh memberikan penilaiannya. Wahai sahabat muslim, marilah kita
berpikir obyektif dan berwawasan luas, agar tidak terjebak pada kondisi yang
menjerat diri kita sendiri dalam kesempitan. Satu contoh lagi, ingat hadits
yang sudah kami cantumkan dimuka, bahwa Rasulullah saw mengutuk orang yang menerima
riba, orang yang membayarnya, dan orang yang mencatatnya, dan dua orang
saksinya, kemudian beliau bersabda "mereka itu semua sama". Lah, sekarang lihatlah uang yang anda pegang, siapa
yang mencetak uang tersebut ? Bank Indonesia kan ? ( dikeluarkan BI dicetak
Peruri). Padahal Bank Indonesia itu yang menciptakan, yang mencatat dan yang
menjadi saksi terjadinya transaksi dengan bunga. Bank menerima simpanan uang
dari bank lain dengan memberikan bunga, meminjamkan uang kepada bank lain
dengan bunga, jadi uang yang kita pegang itu sesungguhnya produk dari badan sebagai
dedengkotnya yang melegalkan bunga. Terus kita membeli beras dan lauk pauk
dengan uang Bank Indonesia, jadi yang kita makan pun sudah terkontaminasi pula
dengan bunga. Kita membeli pakaian dengan uang Bank Indonesia, jadi pakaian yang
kita pakai pun juga terkontaminasi dengan bunga, karena mereka itu semua sama
saja. Lah, apa mungkin Allah yag maha Kasih Sayang akan memasukkan kita semua
bangsa Indonesia dan negara-negara lain yang menerapkan bunga sebagai acuan
tata perekonomian mereka tidak terkecuali termasuk para ustadz yang menggunakan
uang Bank Indonesia, bakalan masuk neraka semua ? Mudah-mudahan benar bagi saya
bahwa bunga semacam ini, yang telah menjadi bagian system keuangan negara,
bukan termasuk riba sebagaimana dimaksud dalam ayat-ayat dan hadits tersebut,
sehingga Insya Allah kita masih selamat dari keterlibatan dengan riba yang
diharamkan.
4). Asas Keterpaksaan
(Dhorurat) dikaitkan dengan nilai mata uang.
Apakah sama uang sebesar satu juta rupiah pada tahun 2000
dengan tahun 2013? Dari angkanya dan jumlah lembar uangnya tentulah sama.
Tetapi seandainya uang satu juta tersebut anda belikan barang pada tahun 2000
mungkin sudah mendapatkan sepeda motor, sedangkan uang satu juta sekarang tahun
2013, hanya mendapatkan sepeda ontel, paling keren sepeda outdoor, yang tetap
saja tanpa mesin. Artinya dalam jumlah yang sama nilai mata uang tersebut
kemampuannya menurun karena daya belinya tidak sama dari tahun-tahun
sebelumnya. Seorang karyawan biasa menerima gaji lima juta pada tahun 2000
mungkin lebih keren dari pada karyawan tahun 2013 yang menerima gaji sepuluh
juta. Itu berarti nilai uang lima juta tahun 2000 lebih tinggi dari sepuluh
juta tahun 2013. Celakanya dalam pengalaman sejarah nilai mata uang pada
umumnya selalu menurun, belum pernah dalam sejarah nilai mata uang itu naik.
Bahkan sekarang Pemerintah sampai dibuat pusing dengan panjangnya angka yang
harus tersedia sehingga kalkulator di Indonesia minimum harus yang 12 digits.
Itupun sudah tidak mampu lagi untuk perhitungan APBN, yang harus sampai 18
digit. Karena itu akhir-akhir ini santer keluar issue akan dilakukan denominasi
mata uang, untuk meringkas angka dimana uang senilai seribu rupiah akan diganti
dengan uang baru senilai satu rupiah saja guna simplifikasi transaksi keuangan.
Ini adalah fakta, bahwa nilai mata uang kita dari waktu ke waktu semakin turun
nilainya. Berbeda uang zaman dahulu, di Arab pada waktu itu uang dinnar
benar-benar merupakan keeping emas, uang dirham adalah keeping perak, jadi
nilainya stabil. Sedangkan sekarang uang bukan lagi dalam bentuk kepingan emas
ataupun perak, Uang yang kita pegang sekarang ini sesungguhnya hanya sebagai
tanda bahwa kita punya nilai dari hasil usaha kita. Ya tidak jauh beda dengan
ijasah atau sertifikat. Bila anda lulus ujian S-1, maka anda akan mendapatkan
satu lembar ijazah sarjana strata satu, yang menggambarkan hasil jerih payah
anda selama belajar kuliah dan biayanya sampai lulus s-1. Itulah nilai jerih
payah anda dalam selembar ijazah. Pada waktu dulu sewaktu sarjana S-1 masih
terbatas, masih sangat mudah mendapatkan pekerjaan dengan modal ijazah S-1
tersebut. Sekarang lulusan S-1 semakin banyak, ombyokan dimana-mana, cari kerja
dengan modal ijazah S-1 pun sulit, bahkan banyak S-1 yang rela jadi sopir taxi,
tukang ojek dan bahkan ditempat saya bekerja, S-1 jadi OB. Itu artinya nilai
selembar ijazah tersebut sudah semakin menurun. Demikian pula dengan mata uang.
Sebulan anda bekerja di hargai dengan beberapa lembar uang bergambar
proklamator Soekarno-Hatta. Katakanlah dengan 100 lembar dan anda masih bisa
menabung 50 lembar. Akan tetapi 10 tahun kemudian bila gaji anda tetap hanya
dengan 100 lembar sebulan, anda sudah tidak mampu menabung lagi, mungkin malah
tekor. Apa maksud illustrasi tersebut ? Bahwa adalah kenyataan nilai uang
cenderung semakin menurun. Dalam keadaan seperti ini seandainya anda memiliki
sejumlah uang yang tidak terpakai hanya anda simpan dibawah bantal
bertahun-tahun, maka nilai uang anda akan semakin menurun terus. Tetapi apabila
anda tabung di bank, setidaknya uang tersebut akan menghasilkan bunga tabungan
yang saat ini sekitar 2 – 4 % per tahun potong pajak 15%. Kalau di simpan dalam
Deposito berjangka kira-kira 4-6% per tahun potong pajak 15% (kalau di bank
Syariah berdasar bagi hasil bisa berubah-ubah tergantung hasil keuntungan
bank). Hasil bunga atau bagi hasil tersebut setidaknya bisa untuk
mengkompensasi menurunnya nilai mata uang, akan tetapi kalau di hitung-hitung
secara cermat keuntungan anda dari bunga atau bagi hasil bank tersebut ternyata
belum sepadan dengan besarnya nilai penurunan mata uang. Anda hanya dapat bunga
4% sementara turunnya nilai uang bisa sampai 10%. (jangan perpancang hanya pada
angka inflasi lo, karena angka inflasi didasarkan kenaikan harga bermacam-macam
komoditi yang di rata-rata). Jadi bagaimana trick untuk mengakali jangan sampai
menderita kerugian dari turunnya nilai mata uang bila uang anda hanya disimpan
saja ? Ya sebaiknya harus dapat anda usahakan untuk investasi pada
bidang-bidang usaha yang produktif. Bagaimana kalau saya tidak bisa berusaha
sendiri. Jangan khawatir, banyak orang lain yang pandai berusaha, tapi kurang
modal. Itulah gunanya bank sebagai mudharib yang menerima amanah para penabung
untuk menjaga uangnya tidak semakin menurun akan tetapi bahkan semakin menaik.
Dalam kaitan ini marilah kita hubungkan dengan sub paragraph diatas, apa
hubungannya darurat dengan menurunnya mata uang. Dengan kecenderungan nilai
mata uang yang terus menurun, maka adalah perilaku yang layak bila pemilik uang
akan mengusahakan agar uang tidak terus tergerus nilainya semakin menurun.
Salah satunya dengan cara yang praktis, yang kalau bukan sebagai pengusaha, ya
hanya dengan menyimpan uang di bank saja yang paling tidak akan menerima bunga
simpanan untuk mengkompensasi penurunannya nilai uang. Oleh karena itu apabila
seseorang meminjam uang dari orang lain (teman atau sanak family, bukan bank)
dalam jangka waktu tertentu tanpa memberikan imbalan tambahan sepeserpun dapat
dianggap sebagai kedholiman, karena telah merugikan orang yang telah rela
meminjamkan uangnya membiarkan menderita kerugian karena penurunan nilai mata
uangnya. Dalam suatu hadits yang saya baca pada sumber lain, intinya dikatakan
bahwa seseorang boleh saja memberikan hadiah (termasuk tambahan sejumlah uang)
pada saat mengembalikan hutang seikhlasnya dan uang itu halal diterima oleh
yang memberikan pinjaman, dan hal demikian bahkan merupakan suatu perbuatan
baik. Hanya saja dalam konteks hadits tersebut adalah seikhlasnya itu artinya
jumlahnya tidak ditetapkan oleh orang yang meminjamkan uangnya, akan tetapi
suka-sukanya yang berhutang sesuai keikhlasannya. Dalam kondisi di era sekarang
ini, dimana kecenderungan penurunan nilai uang sudah pasti, lalu apa salahnya
kalau nilai tambahan yang ingin dibayarkan oleh yang berhutang ditetapkan
dimuka berdasar perjanjian suka sama suka, artinya sama-sama menerima dan
ridho, tidak ada pemaksaan ? Apakah ini menjadi riba ? Kesepakatan itu terjadi
karena nilai tambahan yang ditetapkan keduanya bagi kedua belah pihak sudah
diperhitungkan akan sama-sama menguntungkan dan dengan demikian tidak akan
merugikan yang meminjamkan uangnya akibat dibiarkannya menurunnya nilai mata
uang, sehingga justeru dengan kesepakatan ini menghindari kedzoliman. Kalau
sama-sama sudah sepakat, saling ridho, bukannya ini sejalan dengan hadits
tersebut. Lagian, menghindari kemudharatan (menurunnya nilai mata uang) dan
mengedepankan kemaslahatan, adalah anjuran dalam kaidah fiqh.
5). Menghargai
pemilik kesempatan.
Namun demikian, bagaimanapun juga, yang paling aman tentu lebih baik meninggalkan yang musytabihat meskipun dari uraian tersebut diatas belum tentu cenderung kepada hal yang haram yang dalam kondisi terpaksa masih lebih baik dilakukan bila memang memberikan manfaat yang baik, akan tetapi apabila masih mendapatkan kesempatan lain yang lebih baik yang tidak mustabihat, lebih baik tinggalkan yang masih musytabihat.
Wallohu alam bisawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dengan hati nurani dan etika yang baik.
Selain itu dengan senang hati bila mau memberikan pengalaman yang dapat dipertanggungjawabkan pada BO/IO (HYIP) lain yang ternyata sangat bagus dan menguntungkan agar dapat sharing dengan pembaca lainnya. Pengalaman yang teruji atau terbukti benar bagus dan menguntungkan akan kami posting disini sekaligus mempromosikan anda sendiri sebagai sponsor/upline.
Terimakasih.